Bendera Aceh: Wali Nanggroe Desak Pengesahan Setelah Sengketa Pulau Tuntas

Jakarta – Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud Al Haythar, menyampaikan harapan agar aturan mengenai pengibaran bendera Aceh segera disahkan. Pernyataan ini muncul setelah pemerintah pusat mengembalikan empat pulau yang sebelumnya menjadi sengketa antara Aceh dan Sumatera Utara ke wilayah Aceh.

Abdul Mu’ti: Banyak Sekolah yang Sedekah Nilai (Pilihan Editor)

Malik Mahmud mengungkapkan bahwa masyarakat Aceh masih memiliki keinginan yang kuat untuk mengibarkan bendera berlambang bulan bintang tersebut. “Ya, bagi orang-orang Aceh, sangat diharapkan bendera itu disahkan. Kami menunggu saja,” ujarnya di sela-sela pertemuannya dengan mantan presiden Jusuf Kalla di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Selasa malam, 17 Juni 2025.

Polemik seputar pengibaran bendera Aceh berakar dari perbedaan interpretasi antara perjanjian Helsinki, peraturan perundang-undangan nasional, dan regulasi daerah (Qanun) di Aceh. Perjanjian Helsinki memuat klausul yang menyatakan Aceh berhak menggunakan simbol wilayah, termasuk bendera, lambang, dan himne sendiri.

Namun, klausul ini bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 yang melarang daerah menggunakan lambang yang menyerupai organisasi separatis, dalam hal ini Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Akibatnya, perdebatan mengenai legalitas penggunaan bendera Aceh hingga kini belum menemukan titik temu.

Terlepas dari polemik tersebut, Malik Mahmud menyambut baik kembalinya empat pulau ke Aceh. “Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah SWT, masalah polemik 4 pulau yang berlaku baru-baru ini sudah selesai. Dan dengan ini, saya mengucapkan terima kasih banyak kepada Bapak Presiden, kepada petinggi-petinggi kita yang telah menyelesaikan masalah ini, termasuk juga Bapak Menteri Dalam Negeri.”

Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto telah memutuskan bahwa empat pulau yang disengketakan antara Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) masuk ke dalam wilayah administrasi Aceh. Keputusan ini didasarkan pada dokumen administrasi yang dimiliki oleh pemerintah.

“Berlandaskan dokumen, pemerintah telah mengambil keputusan bahwa 4 pulau itu milik Aceh,” tegas Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, di Kantor Presiden, Jakarta, pada hari Selasa, 17 Juni 2025.

Prabowo memimpin rapat terbatas melalui konferensi video di tengah perjalanannya menuju St. Petersburg, Rusia, pada hari Selasa. Rapat terbatas tersebut dihadiri oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Sekretaris Negara/Juru Bicara Presiden RI Prasetyo Hadi, Gubernur Aceh Muzakir Manaf, Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution, dan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menjelaskan alasan di balik keputusan pemerintah untuk memasukkan empat pulau sengketa ke dalam wilayah Aceh. Tito mengungkapkan bahwa dokumen asli yang berisi kesepakatan antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara pada tahun 1992 telah ditemukan. Dokumen ini secara tegas menyatakan bahwa keempat pulau tersebut termasuk dalam wilayah Aceh.

Tito menambahkan bahwa dokumen asli tersebut ditemukan di Gedung Arsip Kemendagri di Pondok Kelapa, Jakarta Timur, pada Senin, 17 Juni 2025. “Ada tiga gedung dibongkar-bongkar [untuk mencari] dokumen asli, yaitu kesepakatan dua gubernur,” jelasnya.

Hendrik Yaputra, Eka Yudha Saputra, dan Sapto Yunus berkontribusi dalam penulisan artikel ini.