4 Pulau Aceh Sengketa: Fakta Dokumen Asli Kesepakatan 1992 Terungkap!

weplaywordgames – , Jakarta – Polemik batas wilayah antara Aceh dan Sumatera Utara akhirnya mencapai titik terang. Pemerintah secara resmi menetapkan empat pulau yang selama ini menjadi objek sengketa, yaitu Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek, masuk ke dalam wilayah administratif Aceh. Keputusan bersejarah ini diumumkan dalam sebuah konferensi pers di Istana Presiden, Jakarta, menyusul penemuan dokumen asli kesepakatan batas wilayah yang diteken tiga dekade silam, tepatnya pada tahun 1992.

Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, menegaskan bahwa dokumen kesepakatan tahun 1992 yang ditandatangani oleh Gubernur Aceh kala itu, Ibrahim Hasan, dan Gubernur Sumatera Utara, Raja Inal Siregar, menjadi landasan hukum yang sangat kuat. Dokumen ini secara definitif mengonfirmasi status kepemilikan keempat pulau. “Dokumen ini sangat penting karena berbentuk asli, bukan fotokopi. Dalam konteks hukum, dokumen asli memiliki kekuatan pembuktian yang jauh lebih kuat dibanding salinan,” ujar Tito dalam konferensi pers di Istana Presiden, Jakarta, Selasa, 17 Juni 2025, sebagaimana dikutip dari Antara.

Mendagri Tito menjelaskan lebih lanjut bahwa dokumen kunci tersebut adalah Keputusan Mendagri Nomor 111 Tahun 1992. Keputusan ini, yang ditandatangani pada 24 November 1992, secara eksplisit menegaskan bahwa Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek berada dalam lingkup wilayah Aceh. Penandatanganan dokumen kesepakatan batas wilayah ini disaksikan langsung oleh Mendagri era Orde Baru, Rudini. Pencarian intensif yang dilakukan oleh tim arsip Kementerian Dalam Negeri membuahkan hasil, di mana dokumen vital ini akhirnya ditemukan di Pusat Arsip Pondok Kelapa, Jakarta Timur, pada Senin, 16 Juni 2025.

Selain itu, dokumen tahun 1992 tersebut turut merujuk pada Peta Topografi TNI AD tahun 1978. Peta ini, yang lebih tua, secara eksplisit menempatkan keempat pulau tersebut dalam batas administratif Aceh, semakin memperkuat klaim Aceh. Sebelumnya, keempat pulau ini sempat tercatat sebagai milik Sumatera Utara dalam Keputusan Mendagri terbaru yang diteken pada 25 April 2025, sebuah penetapan yang memicu protes keras dari Pemerintah Aceh.

Sebagai tindak lanjut, Tito Karnavian menyatakan bahwa Kementerian Dalam Negeri tengah menyiapkan revisi atas Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025. Revisi ini akan mengubah status keempat pulau tersebut dari wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah menjadi bagian dari Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh. Perubahan data administratif ini tidak hanya akan berlaku secara nasional, tetapi juga akan dikirimkan ke forum internasional United Nations Conference on the Standardization of Geographical Names (UNCSGN) sebagai bagian dari pembaruan data global.

Penetapan status keempat pulau ini disampaikan secara resmi oleh Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, yang didampingi oleh Mendagri Tito Karnavian, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Gubernur Aceh Muzakir Manaf, dan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution. Menurut Prasetyo, keputusan ini diambil setelah Presiden Prabowo Subianto memimpin rapat terbatas dengan sejumlah kementerian teknis terkait. “Dengan adanya keputusan ini, kami berharap polemik soal status keempat pulau itu bisa segera diakhiri,” ujar Prasetyo, seperti dikutip dari laporan Antara.

Sengketa kepemilikan 4 pulau ini memang telah berlangsung lama. Pada tahun 2008, saat verifikasi nasional terhadap pulau-pulau di Indonesia, keempat pulau tersebut tidak tercantum dalam laporan wilayah Aceh. Sebaliknya, Pemerintah Sumatera Utara kala itu memasukkan keempat pulau tersebut dalam surat yang diajukan ke pemerintah pusat, memulai babak baru dalam sengketa pulau ini.

Tito Karnavian menjelaskan, ketidaktercantuman nama pulau-pulau tersebut dalam laporan Aceh pada 2008 membuat Kementerian Dalam Negeri kala itu mengacu pada hasil rapat Tim Pembakuan Rupa Bumi tahun 2017. Tim yang beranggotakan perwakilan dari Kemendagri, BIG, Lapan, BRIN, TNI AD, Pushidrosal, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan tersebut menyatakan keempat pulau masuk ke wilayah Sumatera Utara. Meskipun Pemerintah Aceh sempat melayangkan surat keberatan dan menyerahkan fotokopi dokumen tahun 1992, salinan tersebut belum cukup kuat secara hukum. Kementerian Dalam Negeri kala itu menolak menjadikannya dasar hukum, khawatir jika keputusan diambil berdasarkan dokumen yang tidak otentik akan menimbulkan persoalan hukum di kemudian hari. Penemuan dokumen asli ini, oleh karena itu, menjadi penentu dalam mengakhiri sengketa batas wilayah yang berkepanjangan.

Sapto Yunus dan ANTARA berkontribusi dalam penulisan artikel ini.