Marcella Santoso: Konten Indonesia ‘Gelap’? Pengakuan & Bantahan Terbarunya!

JAKARTA, KOMPAS.com – Marcella Santoso, seorang tersangka dalam berbagai kasus yang ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung), membuat publik terheran-heran setelah keterangannya mengenai “Indonesia Gelap” berbalik arah dalam semalam. Fenomena “Indonesia Gelap” sendiri merupakan tagar masif di media sosial yang mengiringi gelombang demonstrasi menentang pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, yang mencuat kuat pada Februari lalu.

Pada Senin, 17 Juni 2025, Marcella secara terbuka mengakui keterlibatannya dalam pembuatan konten negatif, termasuk yang berkaitan dengan isu Rancangan Undang-Undang TNI (RUU TNI) dan tagar “Indonesia Gelap”. Pengakuan ini disampaikan melalui tayangan video dalam konferensi pers di Gedung Bundar Jampidsus Kejagung, Jakarta. Dengan ekspresi penuh penyesalan dan suara yang lirih, Marcella menyatakan, “Terdapat juga isu pemerintahan Bapak Presiden Prabowo seperti petisi RUU TNI dan juga Indonesia Gelap.” Ia juga mengungkapkan penyesalannya atas segala kelalaian dalam mengecek dan meneliti kembali isi konten yang ia sebarkan, yang secara langsung menyasar institusi Kejaksaan Agung dan sejumlah tokoh penting di dalamnya.

Namun, kurang dari 24 jam berselang, tepatnya pada Rabu, 18 Juni 2025, Marcella tiba-tiba mengubah total keterangannya. Usai menjalani pemeriksaan di Kejaksaan Agung, ia dengan tegas membantah pernah menciptakan konten terkait “Indonesia Gelap” maupun RUU TNI. “Saya enggak bikin soal RUU TNI dan Indonesia Gelap,” ujarnya singkat, tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai alasan di balik perubahan drastis pernyataannya, termasuk pertanyaan apakah ia dipaksa atau diminta membuat konten tersebut.

Di sisi lain, pihak Kejaksaan Agung sendiri tidak terlalu mendalami isu konten “negatif” tersebut, termasuk “Indonesia Gelap” dalam penyidikan mereka. Direktur Penyidikan Kejagung, Abdul Qohar, menjelaskan bahwa fokus penyidik Jampidsus tidak masuk ke ranah politik dari konten tersebut. “Kemudian, untuk institusi lain, kami tidak masuk di wilayah itu. Tapi, karena di barang bukti elektronik ada, ini kami tanyakan, apa maksud dia membuat konten Indonesia Gelap, konten negatif? Apa kaitan dengan RUU TNI, ini kami tidak tahu, tapi yang tahu mereka (institusi yang dimaksud konten) yang bersangkutan,” terang Qohar, menandakan bahwa keberadaan konten tersebut hanya dicatat sebagai bagian dari bukti elektronik.

Sosok Marcella Santoso yang menjadi pusat perhatian ini adalah seorang advokat atau pengacara yang kini menyandang status tersangka dalam beragam kasus serius di Kejagung. Ia menjadi tersangka dalam kasus vonis lepas atau onslag perkara crude palm oil (CPO) yang melibatkan tiga korporasi. Selain itu, Marcella juga terjerat dalam kasus perintangan penyidikan terkait kasus korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, serta dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang juga berkaitan dengan penanganan perkara di pengadilan yang sama.

Keterlibatannya dalam “konten negatif” ini berakar pada kasus perintangan penyidikan. Modus yang digunakan melibatkan penyebaran konten-konten yang dinilai menjatuhkan institusi kejaksaan, bahkan hingga mengorganisir aksi massa. Salah satu tersangka yang turut terlibat adalah Ketua Cyber Army, M Adhiya Muzakki, yang diduga memimpin 150 buzzer dan menerima total Rp 864,5 juta dari Marcella untuk menyebarkan narasi-narasi tersebut. Tidak hanya itu, Tian Bahtiar, eks Direktur Pemberitaan JakTV, juga diduga menerima Rp 487 juta dari Marcella untuk memberitakan konten serupa.

Marcella Santoso rupanya tidak sendiri dalam melancarkan aksi-aksi ini. Ia terjerat bersama advokat lain bernama Junaedi Saibih. Keduanya disangka bersekongkol menyelenggarakan seminar dan aksi unjuk rasa, yang kemudian diupayakan untuk diliput dan diangkat ke ruang publik oleh jaringan buzzer dan media yang mereka kendalikan, guna menyebarkan narasi-narasi yang telah direncanakan. Perubahan keterangan Marcella yang drastis ini kian menambah kompleksitas dalam rangkaian kasus yang menjeratnya di Kejaksaan Agung.