weplaywordgames – – Perkembangan teknologi tidak selalu membawa dampak positif. Kehadiran teknologi terkini justru bisa disalahgunakan dan dimanfaatkan untuk hal-hal merugikan. Salah satunya adalah deepfake yang lahir dari teknologi kecerdasan buatan.
Deepfake merupakan jenis teknologi berbasis kecerdasan buatan (AI) yang digunakan untuk membuat gambar, video, dan rekaman audio “palsu” yang dibuat semirip mungkin sehingga terlihat meyakinkan.
Teknologi deepfake menjadi berbahaya jika dipakai membuat konten di mana seseorang seolah-olah melakukan sesuatu yang padahal tidak pernah mereka lakukan.
Deepfake bisa meniru suara bahkan wajah manusia. Lantas, bagaimana cara kerjanya?
Deepfake dan cara kerjanya
Dirangkum KompasTekno dari TechTarget, Senin (30/6/2025), istilah deepfake berasal dari gabungan kata antara “deep learning” dan “fake”.
Deep learning merupakan bagian dari teknologi AI yang memanfaatkan algoritma untuk memanipulasi atau merekayasa konten visual dan audio.
Sementara fake, merupakan istilah yang menggambarkan bahwa konten yang dihasilkan deepfake adalah palsu alias tidak nyata.
Baca juga: Induk TikTok Umumkan OmniHuman-1, AI untuk Bikin Video Deepfake dari Foto
Konten deepfake dihasilkan bukan berasal dari video atau gambar yang diedit di aplikasi seperti Photoshop. Deepfake sendiri dibuat menggunakan algoritma khusus yang memadukan rekaman lama dan baru.
Misalnya, wajah orang dalam gambar dianalisis melalui pembelajaran mesin (machine learning/ML). Kemudian bahan analisis tersebut nantinya akan digunakan untuk dibuat versi “tiruannya” dalam konteks video lain.
Adapun cara kerja teknologi ini yaitu menggunakan kombinasi dua algoritma yaitu generator dan diskriminator. Kedua algoritma ini akan menghasilkan sistem bernama Generative Adversarial Network (GAN).
GAN ini kemudian akan bekerja dengan mengenali pola dalam gambar atau video dari sumber asli yang ingin direkayasa, lalu pola tersebut digunakan untuk membuat konten palsu sesuai keinginan si pengguna.
Saat membuat konten foto deepfake, misalnya, sistem GAN akan melihat foto sumber dari berbagai sudut dan menangkap semua detail serta perspektif-nya supaya bisa ditiru semirip mungkin.
Cara kerja ini juga mirip seperti saat akan membuat konten video deepfake. Namun bedanya, sistem akan menganalisis jauh lebih detail sampai ke perilaku, gerakan, dan pola bicara dari video sumber.
Nantinya setelah menganalisis pola-pola tersebut, sistem akan menangkap semua informasi dan menjalankannya lewat diskriminator selama beberapa kali untuk menyempurnakan realisme gambar atau video sampai semirip mungkin dengan sumber asli.
Bisa palsukan wajah dan suara
Seperti disinggung di atas, teknologi deepfake bisa memalsukan wajah dan suara seseorang nyaris realistis dan tampak meyakinkan. Konten yang ditampilkan diklaim bisa meniru gerakan bibir, bahkan ekspresi, bahkan intonasi suara orang yang akan direkayasa tersebut.
Konten olahan deepfake biasanya dibuat lewat dua metode. Pertama, memakai konten misalnya video asli berisi wajah atau gerakan tubuh dari seseorang yang ingin direkayasa. Kedua, menukar wajah orang tersebut ke konten lain (face swap).
Bukan cuma gambar atau video, teknologi deepfake juga bisa meniru suara dari seseorang dengan mirip.
Cara kerjanya hampir sama dengan konten foto dan video, di mana model AI akan mempelajari pola suara seseorang dan membuat rekaman baru yang terdengar nyaris mirip seperti orang tersebut.
Deepfake audio juga sering dipadukan dengan lip–sync, yaitu konten palsu yang menggunakan sinkronisasi bibir di mana suara seseorang akan disesuaikan dengan gerakan bibir di dalam video sumber, sehingga tampak asli seolah-olah dikatakan langsung oleh orang tersebut.
Baca juga: Prediksi Lanskap Keamanan Siber Asia-Pasifik 2025, dari Deepfake hingga Transparansi AI
Bahaya deepfake di kehidupan nyata
Dikutip dari laman TechTarget, konten-konten yang dihasilkan teknologi deepfake bisa berbahaya. Sebab konten ini bisa disalahgunakan untuk melakukan penipuan, pemerasan, merusak reputasi, hingga membuat konten pornografi.
Adapun pelaku kejahatan ini kerap memanfaatkan deepfake untuk menyebarkan informasi palsu yang bahkan sampai melibatkan politisi atau publik figur supaya terlihat lebih meyakinkan.
Penipuan berkedok deepfake ini juga dilaporkan pernah terjadi di berbagai negara lain dengan misinformasi yang berbeda-beda, meliputi:
- Pendiri Meta, Mark Zuckerberg yang memperlihatkan dirinya membanggakan bagaimana Facebook memiliki “penggunanya”.
- Mantan presiden Amerika Serikat, Joe Biden yang disebut mengalami penurunan kognitif. Video ini ditujukan untuk memengaruhi pemilihan presiden pada 2020 lalu.
- Foto Paus Fransiskus mengenakan jaket tebal
- Mantan presiden AS Donald Trump berkelahi dengan polisi
- Video CEO Facebook Mark Zuckerberg yang memberikan pidato tentang kekuatan jahat perusahaannya
- Video Ratu Elizabeth yang sedang menari dan memberikan pidato tentang kekuatan teknologi
Tips mendeteksi konten deepfake
Dihimpun KompasTekno dari laman TechTarget, ada tiga tips utama yang bisa dilakukan untuk mendeteksi konten-konten yang beredar di internet dan kemungkinan dihasilkan oleh teknologi deepfake.
Pertama, perhatikan gerak wajah atau mata di dalam video. Disebutkan, posisi wajah pada konten palsu ini biasanya akan cenderung terlihat tidak wajar dan matanya jarang berkedip, berbeda dengan video yang merekam manusia asli.
Kedua, lihat pencahayaan atau bayangan subjek yang muncul di video. Konten-konten deepfake menampilkan pencahayaan yang kurang optimal dan terkesan tidak alami. Selain itu, ketika videonya diperbesar juga akan tampak aneh.
Ketiga, cek sinkronisasi antara pergerakan bibir dengan audio yang dikeluarkan. Disebutkan, video palsu biasanya sering menunjukkan perbedaan antara gerakan bibir dengan suara yang dihasilkan.
Dengan beberapa tips tersebut, diharapkan pembaca bisa lebih waspada dan terhindari dari informasi palsu yang dibuat oleh teknologi deepfake.