Presiden Prabowo Tetapkan Empat Pulau Sengketa Masuk Wilayah Aceh
Perselisihan batas wilayah antara Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) akhirnya menemui titik terang. Presiden Prabowo Subianto telah memutuskan empat pulau yang disengketakan—Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek—secara resmi masuk dalam wilayah administrasi Aceh. Keputusan ini mengakhiri polemik yang muncul setelah Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, terbit 25 April 2025, menetapkan keempat pulau tersebut sebagai bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumut. Keputusan tersebut sempat menuai penolakan dari berbagai pihak di Aceh.
Dokumen Historis Jadi Penentu
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menjelaskan, keputusan mengembalikan keempat pulau ke Aceh didasarkan pada penemuan dokumen asli kesepakatan antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumut tahun 1992. Dokumen tersebut, yang ditemukan di Gedung Arsip Kemendagri di Pondok Kelapa, Jakarta Timur pada 17 Juni 2025, secara tegas menyatakan keempat pulau tersebut sebagai bagian dari Aceh. “Ada tiga gedung dibongkar-dibongkar untuk menemukan dokumen asli kesepakatan dua gubernur,” ujar Mendagri dalam konferensi pers di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa, 17 Juni 2025.
Pentingnya Tata Kelola Arsip Kewilayahan
Menyikapi polemik ini, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) sekaligus Juru Bicara Presiden RI, Prasetyo Hadi, menekankan pentingnya penataan arsip kewilayahan di berbagai kementerian dan lembaga. Hal ini bertujuan untuk mencegah sengketa batas wilayah serupa di masa mendatang. Prasetyo menyebutkan beberapa provinsi lain juga menghadapi masalah serupa, meskipun ia tidak merinci provinsi mana saja. “Ke depan, harus kita rapikan semua arsip kita ini… tetapi ada juga di beberapa provinsi yang juga mirip-mirip ini,” ujarnya di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa, seperti dikutip dari Antara. Presiden Prabowo memimpin rapat terbatas membahas hal ini, melibatkan Mendagri, Mensesneg, Gubernur Aceh Muzakir Manaf, Gubernur Sumut Bobby Nasution, dan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad.
Pelajaran Berharga dari Sengketa Pulau
Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menilai kasus ini sebagai pelajaran berharga bagi pemerintah. Ia berpendapat keputusan awal pemerintah untuk menyerahkan empat pulau tersebut ke Sumut tidak tepat, karena kurangnya telaah historis dan kajian mendalam terhadap Undang-Undang Pemerintah Aceh serta Perjanjian Helsinki. JK menekankan pentingnya mendapat persetujuan Gubernur Aceh dalam pengambilan keputusan yang menyangkut wilayah Aceh. “Ini pembelajaran bagi pemerintah bahwa sebelum mengambil tindakan-tindakan itu harus juga memahami sejarah, memahami undang-undang itu sendiri,” ujar JK. Namun, ia mengapresiasi keputusan terbaru Presiden Prabowo dan pihak terkait. JK sebelumnya telah menyatakan bahwa keempat pulau tersebut secara historis memang milik Aceh, berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh.
Dasar Hukum Keputusan 4 Pulau Sah Milik Aceh
JK menambahkan bahwa Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 memiliki kedudukan hukum lebih tinggi daripada Kepmendagri yang membatalkan kepemilikan Aceh atas keempat pulau tersebut. Ia menjelaskan, UU tersebut menetapkan Provinsi Aceh sebagai daerah otonom dan memisahkannya dari Sumut, serta merujuk pada perbatasan yang telah disepakati dalam Perundingan Helsinki tahun 2005 antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). “Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil… bahwa letaknya dekat Sumatera Utara itu biasa,” kata JK.
Hendrik Yaputra, Dian Rahma Fika, dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Dasar Hukum Keputusan 4 Pulau Sah Milik Aceh